Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut
yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung
Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk
arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung
Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah
timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu
berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah
menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat
adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah
mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di
antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata
air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut
bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari
bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan
air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang
asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang
pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam
bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan
menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera
bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan
ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip
sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto
dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto
tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang
diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat
terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya.
Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia
berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil
mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali
bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut
selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai
kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun,
salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari
tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak
untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari,
namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari
itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang
bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale
ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya.
Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih,
karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa
saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera
menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya
Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke
Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto
segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun
bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk
tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah
berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit
yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka
mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam
jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau
Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula,
yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu
ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau
tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang
melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih
dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh
perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat
ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?”
seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong
lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?”
sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu
dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung
itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian
disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian
mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin
topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu
kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada
tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang
ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum
mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang
sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya
mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang
tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan
berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil
mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama
suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu!
Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i
Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai
pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin
mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak
seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk
mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik
kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas
tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale
hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini
diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik
antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan
rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di
tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku
siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i
Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh
kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi
mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun
tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan
membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah
pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan
kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan
keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan
bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa
mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru
Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai
bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika
kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana
hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale
dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di
samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki
berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari....
membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan
memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling
tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun
dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah
bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas,
kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu
tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari
atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir
mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka
pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik
tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia
memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula,
sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat
pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo
kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera
mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia
meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba
menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya
bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango
Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya
bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis
kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika
hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda
terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil
menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima
benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya
saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu
mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti
yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk
memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa
pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon
jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang
Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i
Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk
memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari
Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini
seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil
menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa
pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di
Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh
di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa
keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang
Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu,
Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu,
yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan,
masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau
lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
No comments:
Post a Comment